Jumat, 27 April 2018

Hikayat Cerita Suku Melayu

          

1.Cerita Batu Belah Batu Betangkup


       Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.



      Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung, sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris tenggelam di sebuah sungai.



      Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang rumput yang jauh letaknya.

“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.

         Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan terjerat dalam jebakannya.
“Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

      Namun, sungguh malang petani itu. Ketika ia mengayunkan parangnya ke tubuh babi hutan itu, parangnya yang telah aus itu patah menjadi dua. Babi hutan yang terluka itu semakin marah. Petani itu lari tunggang langgang dikejar babi hutan. Ketika ia meloncati sebuah sungai kecil, ia terpeleset dan jatuh sehingga kepalanya terantuk batu. Tewaslah petani itu tanpa diketahui anak istrinya. Sementara itu – di rumah isri petani itu sedang memarahi si Sulung dengan hati yang sedih karena si Sulung telah membuang segenggam beras terakhir yang mereka punyai ke dalam sumur. Ia tidak pernah membayangkan bahwa anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan sepuluh hari dan dirawat dengan penuh cinta kasih itu, kini menjadi anak yang nakal dan selalu membuat susah orang tua.

      Karena segenggam beras yang mereka miliki telah dibuang si Sulung ke dalam sumur maka istri petani itu berniat menjual periuk tanah liatnya ke pasar. “Sulung, pergilah ke belakang dan ambillah periuk tanah liat yang sudah ibu keringkan itu. Ibu akan menjualnya ke pasar. Jagalah adikmu karena ayahmu belum pulang,” ucapnya. Akan tetapi, bukan main nakalnya si Sulung ini. Dia bukannya menuruti perintahnya ibunya malah ia menggerutu.
“Buat apa aku mengambil periuk itu. Kalau ibu pergi, aku harus menjaga si Bungsu dan aku tidak dapat pergi bermain. Lebih baik aku pecahkan saja periuk ini,” kata si Sulung. Lalu, dibantingnya kedua periuk tanah liat yang menjadi harapan terakhir ibunya untuk membeli beras. Kedua periuk itu pun hancur berantakan di tanah.

      Bukan main terkejut dan kecewanya ibu si Sulung ketika mendengar suara periuk dibanting.
“Aduuuuuh…..Sulung! Tidak tahukah kamu bahwa kita semua butuh makan. Mengapa periuk itu kamu pecahkan juga, padahal periuk itu adalah harta kita yang tersisa,” ujar ibu si Sulung dengan mata penuh air mata. Namun si Sulung benar-benar tidak tahu diri, ia tidak mau makan pisang. Ia ingin makan nasi dengan lauk gulai ikan. Sungguh sedih ibu si Sulung mendengar permintaan anaknya itu.
“Pokoknya aku tidak mau makan pisang! Aku bukan bayi lagi, mengapa harus makan pisang,” teriak si Sulung marah sambil membanting piringnya ke tanah.

      Ketika si Sulung sedang marah, datang seorang tetangga mereka yang mengabarkan bahwa mereka menemukan ayah si Sulung yang tewas di tepi sungai. Alangkah sedih dan berdukanya ibu si Sulung mendengar kabar buruk itu. Dipeluknya si Sulung sambil menangis, lalu berkata “Aduh, Sulung, ayahmu telah meninggal dunia. Entah bagaimana nasib kita nanti,” ratap ibu si Sulung. Tetapi si Sulung tidak tampak sedih sedikit pun mendengar berita itu. Bagi si Sulung, ia merasa tidak ada lagi yang memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak disenanginya.

      “Sulung, ibu merasa tidak sanggup lagi hidup di dunia ini. Hati ibu sedih sekali apabila memikirkan kamu. Asuhlah adikmu dengan baik. Ibu akan menuju ke Batu Belah. Ibu akan menyusul ayahmu,” ucap ibu si Sulung. Ibu si Sulung lalu menuju ke sebuah batu besar yang menonjol, yang disebut orang Batu Belah.

      Sesampainya di sana, ibu si Sulung pun bernyanyi,
Batu belah batu bertangkup.
Hatiku alangkah merana.
Batu belah batu bertangkup.
Bawalah aku serta.

      Sesaat kemudian, bertiuplah angin kencang dan batu besar itu pun terbelah. Setelah ibu si Sulung masuk ke dalamnya, batu besar itu merapat kembali. Melihat kejadian itu, timbul penyesalan di hati si Sulung. Ia menangis keras dan memanggil ibunya sampai berjanji tidak akan nakal lagi, namun penyesalan itu datangnya sudah terlambat. Ibunya telah menghilang ditelan Batu Belah.

    2.Cerita Puaka Tanjung Penyabung




      Cerita rakyat Melayu Riau yang berjudul Puaka Tanjung Penyabung masih bercerita tentang kedurhakaan seorang anak kepada ibunya. Hampir mirip dengan cerita-cerita petuah Melayu lainnya yang juga memiliki pesan yang sama, berbakti kepada kedua orang tua dan tidak boleh durhaka kepadanya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini cerita singkat dari Puaka Tanjung Penyabung tersebut:

      Cerita ini menghisahkan seorang anak bernama Atan Comot yang durhaka kepada ibunya. Akibat kedurhakaannya tersebut Atan Comot hilang ditelan laut karena ibunya menyumpahinya. 

     Dahulu, tinggal lah Atan Comot bersama ibunya yang miskin. Makanan kesukaan Atan Comot sehari-harinya adalah borin asap dengan ulam latuh. Makan tradisional orang kampung yang saat itu bagi Atan Comot dan ibunya sangat nikmat. Karena memang keterbatasan uang yang mereka miliki untuk bisa makan dan hidup enak. Akhirnya, karena kesulitan hidup yang mereka hadapi, Atan Comot meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau mencari uang. Dengan berat hati ibunya pun mengizinkan. Pergilah Atan Comot berlayar untuk merantau ke banyak negeri. Sampai akhirnya berkat kegigihannya dalam berusaha, ia pun tumbuh menjadi seorang pengusaha yang kaya raya dan sukses hidupnya serta memiliki kapal layar yang besar. Namun sayang sekali, Atan Comot tak pernah lagi ingat akan ibunya. Terlebih lagi tentang kehidupannya di kampung dulu. Ia telah lalai dengan harta benda dan kekayaan yang telah ia miliki.

     Pada suatu ketika, berkunjung lah Atan Comot tersebut ke tempat kelahirannya. Alangkah bahagianya sang ibu yang mendapatkan anaknya kembali. Ia pun masih ingat dengan makanan kesukaan anaknya tersebut. Dengan susah payah ia pun menyiapkan sajian borin asap dengan ulam latuh yang istimewa untuk anaknya. Namun apa yang terjadi, di luar dugaan ternyata Atan Comot merasa malu dan gengsi dengan makanan kesukaannya dulu itu. Kini ia memandang bahwa makanannya itu adalah makanan kampung yang tidak berkelas. Atan Comot marah kepada ibunya, ia pun lalu menendang baki berkarat yang berisi makanan borin asap dengan ulam latuh yang dibawa oleh ibu Atan Comot tersebut. Tak sampai di situ saja, Atan lalu memukul tangan ibunya yang berpegangan pada bagian tepi perahu. Tak ayal lagi ibunya pun terjatuh ke dalam laut. 

      Ibu Atan pun sangat sedih, kesal dan marah. Kemudian, ibu Atan pergi ke sebuah batu di Tanjung Penyabung. Ia lantas kemudian berdo’a sambil memegang kedua buah dadanya. Doanya, “Jika benar anak diperahu itu anakku Atan, anak yang telah kukandung Sembilan bulan sepuluh hari; anak yang telah kubesarkan dengan air susuku ini, terjadilah sesuatu padanya”. 

      Setelah doa yang diucapkan oleh si ibu selesai, tiba-tiba guruh menggelegar dan angin ribut pun turun dengan kencangnya menenggelamkan perahu yang ditumpangi Atan. Atan ketakutan. Ia pun menjerit minta tolong dan minta ampun pada ibunya, tetapi sudah terlambat. Ternyata azab tak bisa lagi dihentikan. Angin terus menghantam. Hingga akhirnya Atan Comot hilang ditelan laut. Saat ini, menurut cerita orang sekitar yang entah benar entah tidak adanya, jika angin sedang kencang, pernah terlihat lah seorang nenek berdiri di atas batu dan terdengar pula suara orang menjerit.

     
    3.Cerita Hang Tuah





      Pada zaman dahulu kala, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Keti­ka masih anak-anak, ia be­­ser­ta ke­­dua orangtuanya, Hang Mah­mud dan Dang Merdu, menetap di Pu­lau Bintan. Pulau ini berada di perairan Riau. Rajanya ada­lah Sang Maniaka, putra Sang Sapurba raja besar yang bermahligai di Bukit Siguntang.
      Hang Mahmud berfirasat bahwa kelak anaknya akan menjadi seorang tokoh yang ter­kemuka. Saat berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Sela­tan disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Le­kir, dan Hang Lekiu. Dalam per­jalanan, me­reka ber­­­kali-kali diganggu oleh ge­rom­­bol­­­­an lanun. Dengan segala ke­­­be­ranian­nya, Hang Tuah beserta para sa­ha­­bat­nya mam­­­­­­­­­­pu me­ngalahkan ge­­­rom­­­bolan itu. Ka­­bar terse­but terdengar sam­pai ke te­linga Bendahara Pa­duka Raja Bintan, yang sangat kagum ter­hadap ke­beranian mereka.
      Suatu ketika, Hang Tuah dan keempat sahabatnya berhasil mengalahkan empat pe­­ngamuk yang menyerang Tuan Ben­da­­­­hara. Tuan Bendahara kemudian meng­­ang­kat mereka sebagai anak angkatnya. Tuan Ben­­­dahara kemudian melaporkan tentang ke­­­­he­­­­­­bat­­­­­an mereka kepada Baginda Raja Syah Alam. Baginda Raja pun ikut merasa ka­gum dan juga mengangkat mereka se­­­ba­gai anak angkatnya.
      Beberapa tahun kemudian, Ba­ginda Ra­ja berencana mencari tempat baru seba­gai pusat kerajaan. Ia beserta pung­gawa ke­rajaan, termasuk Hang Tuah dan para sa­­habat­nya, melan­cong ke seki­tar Selat Me­­­laka dan Selat Singapura. Rom­­bong­an akhir­­­nya sing­gah di Pu­lau Ledang. Di sana rom­­bong­­an me­­lihat seekor pelanduk (kancil) pu­tih yang ternyata sulit untuk ditangkap.
      Menurut petuah orang tua-tua, jika me­­­­nemui pelanduk putih di hutan maka tem­pat itu bagus dibuat negeri. Akhirnya di sana dibangun sebuah negeri dan dinama­kan Melaka, se­suai nama pohon Melaka yang ditemukan di tempat itu.
      Setelah beberapa lama memerintah, Ba­gin­da Raja berniat meminang seorang putri cantik bernama Tun Teja, putri tung­gal Bendahara Seri Benua di Kerajaan Indrapura. Namun, sayangnya putri itu me­­no­lak pinangan Bagin­da Raja. Akhir­nya, Baginda Raja meminang Raden Galuh Mas Ayu putri tunggal Seri Betara Maja­pahit, raja besar di tanah Jawa.
      Sehari menjelang pernikahan, di ista­na Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Ta­ming Sari, prajurit Majapahit yang su­dah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba meng­­­­­­amuk. Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah kemu­dian menghadang Taming Sari. Hang Tuah mempunyai siasat cerdik de­ngan cara menukarkan kerisnya dengan keris Taming Sari. Setelah keris ber­tukar, Hang Tuah ke­mu­­dian berkali-kali me­­nye­rang Taming Sari. Taming Sari baru ka­lah setelah keris sakti yang dipegang Hang Tuah ter­tikam ke tubuhnya. Hang Tuah ke­mu­dian diberi gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari.
      Baginda Raja bersama istri dan rom­­­­­­bong­annya kemudian kembali ke Melaka. Selama bertahun-tahun negeri ini aman dan tenteram. Hang Tuah menjadi laksa­mana yang amat setia kepada raja Melaka dan amat disayang serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri dan dengki prajurit dan pegawai istana. Suatu ketika tersebar fitnah yang menyebutkan bahwa Hang Tuah telah berbuat tidak sopan de­­ngan seorang dayang istana. Pe­­nyebar fitnah itu adalah Patih Kerma Wijaya yang merasa iri terhadap Hang Tuah. Bagin­da Raja marah mendengar kabar itu. Ia me­me­­­rintahkan Bendahara Paduka Raja agar mengusir Hang Tuah. Tuan Benda­ha­ra sebenarnya enggan melaksana­­­kan pe­­rintah Baginda Raja karena ia menge­ta­hui Hang Tuah tidak bersalah. Tuan Ben­da­hara menyarankan agar Hang Tuah cepat-cepat meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura.
      Di Indrapura, Hang Tuah mengenal se­­­orang perempuan tua bernama Dang Ratna, inang Tun Teja. Dang Ratna kemu­dian menjadi ibu angkatnya. Hang Tuah me­­minta Dang Ratna untuk menyampai­­kan pesan kepada Tun Teja agar mau me­­nya­yangi dirinya. Berkat upaya Dang Ratna, Tun Teja mau menyayangi Hang Tuah. Hu­­­­­­­­­bung­­an keduanya kemudian menjadi sangat akrab.
      Suatu waktu, Indrapura kedatangan pe­rahu Melaka yang dipimpin oleh Tun Ratna Diraja dan Tun Bija Sura. Mereka me­­minta Hang Tuah agar mau kembali ke Melaka. Tun Teja dan Dang Ratna juga ikut bersama rombongan.
      Sesampainya di Melaka, Hang Tuah ke­mu­­­dian bertemu dengan Baginda Raja. Hang Tuah berkata, “Mohon maaf, Tuanku, se­lama ini hamba tinggal di Indrapura. Ham­ba kembali untuk tetap mengabdi se­­­tia ke­pada Baginda.” Tun Ratna Diraja me­la­por­­­­kan kepada Baginda Raja bahwa Hang Tuah da­tang bersama Tun Teja, putri yang dulu diidam-idamkan Baginda Raja. Sing­­kat ceri­ta, Tun Teja akhirnya ber­­­­sedia men­­jadi istri ke­dua Baginda Raja meski­pun se­benarnya ia menya­yangi Hang Tuah. Hang Tuah ke­mu­di­an menjabat lagi se­­bagai Laksamana Mela­ka, yang sangat setia dan disayang raja.
      Hang Tuah kembali kena fitnah se­te­­lah bertahun-tahun menetap di Melaka. Mende­­­­ngar fitnah itu, kali ini Baginda Ra­­ja sa­­ngat marah dan memerintahkan Tuan Ben­­dahara agar membunuh Hang Tuah. Tuan Ben­­dahara tidak tega mem­bu­­­­­nuh Hang Tuah dan memintanya agar me­­­ng­­­ungsi ke Hulu Melaka. Hang Tuah me­nitipkan keris Ta­ming Sari ke Tuan Ben­­da­­­­­hara agar di­­se­rahkan pada Baginda Raja. Hang Jebat kemudian menggantikan Hang Tuah seba­gai Laksamana Melaka. Oleh Baginda Raja keris Taming Sari diserahkan kepada Hang Jebat.
      Sepeninggal Hang Tuah, Hang Jebat lupa diri dan menjadi mabuk kekuasaan. Ia ber­tindak sewenang-wenang. Jebat juga se­­ring bertindak tidak sopan ter­hadap para pem­besar kerajaan dan dayang-dayang. Banyak orang telah menasihati­nya. Na­mun, Hang Jebat tetap keras kepala, tidak mau berubah. Baginda Raja men­jadi gusar melihat kelakuan Hang Jebat. Tak seorang pun prajurit yang mam­pu mengalahkan Hang Jebat. Baginda lalu ter­ingat kepada Hang Tuah. Tuan Ben­­da­hara memberitahu kepada Baginda Raja, “Maaf Baginda, se­­­be­­na­r­nya Hang Tuah masih hidup. Ia me­­ngungsi ke Hulu Melaka.” Atas perintah Ba­­gin­­­da Ra­ja, Hang Tuah bersedia ke Melaka.
      Tuah menghadap Bagin­da Raja dan menyata­­­kan kesiapannya me­lawan Hang Jebat. Hang Tuah ke­mu­dian diberi keris Purung Sari. Terjadi pertempuran yang sangat hebat antara dua sahabat yang sangat setia dan yang mendurhaka. Suatu ketika Hang Tuah berhasil merebut keris Taming Sari dan dengan keris itu, Hang Tuah dapat me­nga­­lah­kan Hang Jebat. Ia mati di pangkuan Hang Tuah. Hang Tuah kembali diangkat sebagai Lak­sa­mana Melaka. Sete­lah itu, Melaka kem­bali tenteram.
      Laksamana Hang Tuah sering melawat ke luar negeri hingga ke negeri Judah dan Rum untuk memperluas pengaruh kera­jaan Me­laka di seluruh dunia.
      Suatu saat Baginda Raja mengirim utus­an dagang ke Kerajaan Bijaya Naga­ram di India, yang dipimpin oleh Hang Tuah. Setelah sampai di India, rombongan me­­­­­­­lanjut­­­­kan pelayaran ke negeri Cina. Di pe­­labuh­­an Cina, rombongan Hang Tuah berselisih de­ngan orang-orang Portugis, karena mereka sangat sombong, tidak te­rima Hang Tuah melabuhkan kapalnya di sam­ping kapal Portugis. Setelah mengha­­dap Raja Cina, rombongan Hang Tuah ke­­­­­­­­mu­­­­di­­an me­lanjut­­kan perjalan­an­nya kemba­li ke Me­laka. Di tengah per­jalanan, me­­­re­­ka di­se­rang oleh perahu-perahu Por­­­tu­­gis. Hang Tuah mampu meng­­­atasi se­­rang­­­an me­re­­ka. Kap­ten dan se­o­rang pe­r­­wi­­ra Por­­­tu­gis melari­kan diri ke Ma­nila, Fili­­pi­­na. Rom­­bong­­an Hang Tuah akhir­­nya tiba di Melaka dengan selamat.
      Suatu hari raja Melaka beserta ke­lu­arga­nya berwisata ke Singapura diiringi Lak­sa­mana Hang Tuah dan Bendahara Pa­­du­­ka Raja dengan berbagai perahu ke­­be­sar­­an. Ketika sampai di Selat Si­ngapu­ra Raja Syah Alam melihat seekor ikan ber­si­sik emas ber­­­matakan mutu manikam di se­kitar pe­­­­ra­hu Syah Alam. Ketika mene­ngok ke per­­­mukaan air, mahkota Raja ter­jatuh ke dalam laut.
      Hang Tuah langsung menyelam ke dasar laut sambil menghunus keris Taming Sari untuk mengambil mahkota tersebut. Ia ber­­hasil mengambil mahkota itu tetapi ketika hampir tiba di perahu, seekor buaya putih besar menyambarnya sehingga mah­ko­­ta beserta kerisnya terjatuh lagi ke laut. Hang Tuah kembali menyelam ke dasar la­ut­­­an mengejar buaya tersebut. Tetapi ter­­­­­nyata mah­kota beserta kerisnya tetap ti­dak di­te­mu­kan. Sejak kehilangan mah­ko­ta dan keris­­ Taming Sari, Raja dan Hang Tuah men­jadi pe­murung dan sering sakit-sakitan.

      Sementara itu, Gubernur Portugis di Ma­nila sangat marah mendengar laporan ke­­kalahan dari perwiranya yang berhasil me­­­lari­kan diri. Setelah beberapa bulan me­­l­aku­kan persiapan, angkatan perang Por­tugis berangkat menuju Selat Melaka. Di tempat ini, mereka memulai serangan ter­hadap Me­­­laka yang menyebabkan ba­nyak prajurit Melaka kewalahan. Pada saat itu, Hang Tuah sedang sakit keras.
      Baginda Raja memerintahkan Tuan Ben­da­­hara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang Tuah tetap ber­se­­­dia ikut memimpin pasukan me­lawan Por­­t­ugis. Kata Hang Tuah kepada Bagin­­da Raja, “Apa yang kita tunggu? Kita se­cepat­nya harus mengusir mereka dari sini.”
      Dengan keteguhannya, Hang Tuah ma­­sih mampu menyerang musuh, baik de­ngan pedang maupun meriam. Namun, se­­­buah peluru mesiu Portugis berhasil meng­­­­hantam Hang Tuah. Ia terlempar se­jauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Hang Tuah berhasil diselamatkan dan kemudian di­bawa de­ngan perahu Mendam Birahi kem­bali ke Melaka. Seluruh perahu pe­tinggi dan pasukan Mela­ka juga kembali ke keraja­an. Demikian pula halnya pasukan Portugis kembali ke Manila karena banyak pe­mim­pinnya yang terluka. Peperangan ber­akhir tanpa ada yang menang dan yang kalah.
      Setelah sembuh, Hang Tuah tidak lagi men­­­­­jabat sebagai Laksamana Melaka kare­na sudah semakin tua. Ia menjalani hidup­nya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka. Baginda Raja juga sudah tidak lagi memimpin, ia diganti­kan oleh anaknya, Putri Gunung Ledang.

Cara Membuat Hiasan di Dalam Botol


Cara Membuat Kuning Telur Berada di Luar


Jumat, 20 April 2018

Tugas Akhir 5 TIK OI 02



  1. Logo Widya Informatika                                                                                                          
  2. Background Bunga Tulip

Tugas Akhir 4 Tik OI 02


Jumat, 13 April 2018

Perkembangan Si Buruk Rupa Menjadi Cantik


Sejarah Pulau Penyengat

       SUATU hal yang tercatat dalam sejarah adalah bahwa mesjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang utuh. Harap diingat, Penyengat pada akhirnya tidak saja sebagai tempat berkedudukannya seorang Yang Dipertuan Muda atau semacam Perdana Menteri Kerajaan Melayu Riau-Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan sejak tahun 1900 dengan segala macam pembangunan fisiknya; sebutlah di antaranya berbagai macam istana, mahkamah, rumah sakit, listrik, dan jaringan telepon yang tersedia sebelum abad ke-20.
 Alkisah, nama pulau Penyengat muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletusnya perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera (masih di Riau). Pulau ini menjadi penting lagi ketika berkobarnya perang Riau (akhir abad ke-18) pimpinan Raja Haji Fisabilillah yang pada tahun 1997 diangkat sebagai pahlawan nasional. Raja Haji menjadikan pulau ini sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan, dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.


 Cerita rakyat menyebutkan, nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah), semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air dalam pelayaran di kawasan ini. Konon, suatu kali para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang tersebut. Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau itu dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini pulau itu lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti.
Pada tahun 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya Engku Putri Raja Hamidah, sehingga pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Perhatian itu semakin mantap dinikmati Penyengat, ketika beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat, sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik-Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu berpergian ke berbagai tempat sebelum diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda, Raja Jaafar membangun Penyengat dengan cita-rasa pemukiman yang molek. Sejumlah pengamat asing menyebutkan, Penyengat ditata sebaik-baiknya tempat yang terlihat dari penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan. Pada gilirannya, Sultan Abdurrahman Muazamsyah, tahun 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat.



 Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurrahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah. Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi Sultan setelah itu, Abdurrahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor tahun 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu itu yang tinggal di Penyengat setelah peristiwa tersebut.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan, bahkan dijarah. Selentingan dari penduduk terdengar cerita tentang bagaimana di antara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada hendaklah dirubuhkan daripada diambil oleh Belanda. Tindakan semacam itu tidak mungkin dilakukan terhadap Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah ini dipelihara baik sebagaimana mestinya sebuah rumah ibadah.
Sebenarnya, Mesjid Sultan di Pulau Penyengat sebagaimana disebutkan dalam Tuhfat al-Nafis (buku sejarah Melayu) karya Raja Ali Haji, dibangun seiringan dengan dihadiahkannya pulau tersebut kepada Engku Putri Raja Hamidah oleh Sultan Mahmud. Cuma saja, waktu itu, mesjid tersebut terbuat dari kayu. Raja Jaafar yang membangun Penyengat sebagai bandar modern hanya pernah memperlebar mesjid itu karena penduduk Pulau Penyengat semakin banyak. 

 Dalam buku Mesjid Pulau Penyengat yang disusun Hasan Junus disebutkan, pembangunan mesjid itu secara besar-besaran dilakukan ketika Raja Abdul Rahman memegang jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844), menggantikan Raja Jaafar. Tak lama setelah memegang jabatan itu yaitu pada tanggal 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M) atau 165 tahun yang lalu, setelah usai shalat Ied, ia menyeru masyarakat untuk ber-fisabilillah atau beramal di jalan Allah.
Caranya adalah dengan membangun mesjid di atas tapak mesjid yang lama. Suatu mesjid yang dapat meninggalkan zaman yaitu dapat digunakan mulai saat dibina sampai kepada anak cucu mendatang. Seruan ber-fisabilillah itu sangat kuat bergaung, setelah seruan serupa dikumandangkan dalam perang Riau, sehingga berduyun-duyunlah masyarakat datang dari berbagai tempat untuk bergotong-royong. Khusus pada sepekan pertama, para lelaki selain penjaga malam, dilarang keluar rumah agar siangnya dapat menyumbangkan tenaganya untuk mesjid. Akhirnya, pembuatan fondasi mesjid selesai dikerjakan selama tiga pekan.
Tidak saja tenaga, mereka juga menyumbangkan makanan seperti beras, sagu, dan lauk-pauk termasuk telur ayam. Makanan itu berlimpah-ruah, bahkan konon putih telur sampai tidak habis dimakan. Atas saran tukang pada bangunan induk mesjid, putih telur itu akhirnya dicampur dengan semen untuk perekat batu. Itulah sebabnya mengapa banyak masyarakat menyebutkan bahwa mesjid tersebut dibuat dari telur.

 Kini kawasan mesjid itu berukuran 54,4 x 32,2 meter. Bangunan induknya adalah 29,3 x 19,5 meter, disangga oleh empat tiang. Lantai bangunannya dibuat dari batu bata tanah liat. Di halaman mesjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus mesjid setiap hari seperti juga tahun ini. Khusus bangunan induk, Raja Hamzah Yunus mengatakan, “Tidak ada perubahan semenjak pertama dibangun oleh Raja Abdul Rahman.”
Tak pelak lagi, keberadaannya memang amat lain dibandingkan mesjid semula yang terbuat dari kayu. Seperti dikisahkan dalam Mesjid Pulau Penyengat, semula mesjid itu berlantai batu merah empat persegi, sedangkan dindingnya terbuat dari kayu cengal (Balanocarpus heimii) yang didatangkan dari Selangor (kini masuk Malaysia). Atapnya terbuat dari kayu bekian. Hanya terdapat sebuah menara setinggi 12 hasta, ditambah sebuah kubah berukuran 17 hasta. Mesjid ini diberi pagar hidup dengan pohon-pohonan yang tumbuh merimbun.
Patutlah diakui bahwa bentuk Mesjid Sultan di Penyengat kini sangat unik. Sulit bagi orang untuk menentukan asal arsitekturnya. Ada yang mengatakan, mesjid ini bergaya India berkaitan dengan tukang-tukang dalam membuat bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Tetapi yang jelas, arsitektur mesjid merupakan gaya campuran dari berbagai wilayah budaya seperti Arab, India, dan Nusantara. Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.

 Terdapat 13 kubah di mesjid itu yang susunannya bervariasi seperti ada “kelompok” kubah dengan jumlah tiga dan empat kubah. Ditambah dengan empat menara yang masing-masing memiliki ketinggian 18,9 meter, maka dapatlah dijumlahkan bahwa bubung yang dimiliki mesjid tersebut sebanyak 17 buah. Ini diartikan sebagai jumlah rakaat dalam shalat yang harus dilakukan oleh setiap umat Islam dalam sehari semalam yakni subuh (dua rakat), zuhur (empat rakaat), asyar (empat rakat), maghrib (tiga rakaat), dan isya (empat rakaat).
Keunikan di dalam mesjid masih banyak. Paling menarik perhatian adalah terdapatnya mushaf Alquran tulis tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul tahun 1867. Ia adalah salah seorang putra Riau yang dikirim Kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki. Disebabkan tempat belajarnya, penulisan mushaf Alquran itu bergaya Istambul yang dikerjakannya sambil mengajar agama Islam di Penyengat.
Alquran tulis tangan lain yang ada di mesjid itu dan tidak diperlihatkan kepada umum, ternyata lebih tua yakni dibuat tahun 1752. Uniknya, di bingkai mushaf yang tidak diketahui penulisnya ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran, bahkan terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu terhadap kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Ini menunjukkan bahwa di sisi lain, orang-orang Melayu tidak saja menulis ulang mushaf, tetapi juga coba menerjemahkannya.
Tentu saja mushaf tersebut tidak dapat diperlihatkan kepada umum karena sudah amat rusak. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kita-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah Marhum Ahmadi, yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor. Dalam suatu kunjungannya tahun 1970-an, Buya Hamka menilai bahwa buku-buku tersebut merupakan buku-buku penting yang tinggi nilainya dalam Islam.

 Benda yang juga cukup menarik perhatian di mesjid ini adalah mimbar yang terbuat dari kayu jati. Sebuah sumber menunjukkan bahwa mimbar ini sengaja ditempah di Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Penyengat ini, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Jepara, memang sudah lama dikenal di Riau, bahkan misi dagang Riau yang dipimpin Raja Ahmad, sempat berada di wilayah itu tahun 1826. Di antara anggota misi ini adalah pujangga Raja Ali Haji yang keranda (peti mati) untuknya sempat juga dibuat di Jepara karena ia sakit keras ketika berada di situ.
Hasan Junus mengatakan, di dekat mimbar itu disimpan sepiring pasir yang dikatakan berasal dari Makkah al-Mukarramah, melengkapi benda-benda lain semacam permadani Turki dan lampu kristal. Pasir ini dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua yang dikenal sebagai bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an, hasil perdagangannya di Jawa sampai ke Betawi. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi kanak-kanak.

penampilan suasana dalam Idul Fitri dan lintasan sejarah yang dikandung Mesjid Sultan itu yang agaknya “mengusik” hati orang luar datang mengerjakan shalat Idul Fitri atau Jumat (lihat: Naksabandiyah dan Berbagai Kegiatan).

Pada gilirannya, kunjungan pendatang dari luar itu merupakan hikmah tersendiri bagi Mesjid Sultan. Ini terbukti banyaknya uang terkumpul dari infak dan sedekah pengunjung. Seorang pejabat Departemen Perhubungan di Jakarta beberapa tahun lalu sempat terkagum-kagum sambil mengatakan bagaimana sebuah mesjid yang berada di desa dengan mata pencaharaian penduduk adalah buruh dan pegawai negeri, memiliki kas di atas Rp 100 juta.
Keterangan terbaru menyebutkan, kas tersebut kini sudah membengkak menjadi Rp 200 juta lebih. Uang inilah yang dikelola untuk berbagai kegiatan seperti pendidikan keagamaan bagi kanak-kanak. Setiap bulan Ramadhan, pengurus menyediakan makanan berbuka puasa bagi 40 orang. Tak ada syarat untuk itu kecuali memang berpuasa dan memerlukannya. Selebihnya, dana tersebut diperlukan untuk memakmurkan mesjid.
Bayangkan saja, untuk memperindah mesjid, baru-baru ini dipasang lampu mewah pada dua menara mesjid seharga Rp 12 juta. Tak pelak lagi, dari Tanjungpinang, menara mesjid itu terlihat bagai mercusuar-seperti menjalani fungsi mercusuar sebenarnya agar orang tidak tersesat berlayar pada malam hari. Menaranya yang terang benderang terlihat seperti dua belah tangan yang mengaminkan doa ke langit, sekaligus mengingatkan orang akan wujud Allah.

 Pengurus mesjid pula tampaknya tidak terlalu ortodoks terhadap pengunjung yang setiap hari mengunjunginya dalam angka relatif-dapat mencapai 1.000 orang pada hari Minggu atau pada hari libur. Mereka dipersilakan melihat-lihat keadaan mesjid setiap saat. Tentu saja, kegiatan melihat-lihat itu tidak lepas dari usaha agar tetap mengingatkan diri kepada Allah, sehingga seorang pengunjung tetap dituntut berlaku sopan. Pengunjung lelaki misalnya, tidak diperkenankan naik ke mesjid kalau hanya memakai celana pendek. Selain itu orang tidak dibenarkan mengambil foto di dalam mesjid.
Tak hanya sampai di situ. Fasilitas mesjid dapat digunakan untuk berbagai kegiatan sosial keagamaan. Dua balai yang berada di halaman mesjid, dapat dijadikan tempat diskusi keagamaan dan kebudayaan. Tahun lalu misalnya, pengurus membenarkan pengisi kegiatan Hari Raja Ali Haji mengadakan kegiatan di dalam kompleks mesjid seperti bimbingan penulisan kreatif dan latihan membacakan syair dan Gurindam Duabelas.

Ya, Mesjid Sultan merupakan salah satu dari belasan obyek wisata di Pulau Penyengat sebagai obyek wisata andalan Riau, apalagi dalam saat hari raya seperti sekarang. Tetapi untuk soal agama, Mesjid Sultan tidak bisa ditawar-tawar karena fungsinya tetaplah sebagai rumah ibadah. Mesjid ini seolah-olah hendak mengatakan bahwa pandangan terhadap dunia tidak mungkin ditutup, tetapi pandangan kepada akhirat tetap dibuka selebar-lebarnya

Budidaya Ulat Sutra


    1.      Siklus Hidup Ulat Sutra
Ulat  keluar  dari  telurnya  dengan  menggigit  dan  merusak  kulit  telur  yang biasanya  terjadi  pada  pagi  hari.  Ulat  yang  baru  menetas  mempunyai  panjang tubuh  sekitar  3  mm  dan  bobot  tubuh  sekitar  0,5  mg.  Setelah  itu  ulat  hidup dengan  memakan  daun  murbei  dan  berganti  kulit  sebanyak  4  kali  selama  4 minggu.  menjadi  ulat  yang  matang  dan  mulai  membuat  kokon. Pada  saat berganti  kulit.  ulat  tidak  makan  dan  periode  makan  disebut  instar.  Periode makan pertama disebut instar pertama dan seterusnya sampai dengan instar 5. Bobot  ulat  selama  24-25  hari  meningkat  sampai  dengan  10.000  kali.  Kokon selesai  dalam  waktu  2-3  hari.  Panjang  serat  yang  dihasilkan  per  kokon  adalah 1.000  -  1.500  m  dengan  diameter  0,002  mm.  Ulat  berubah  menjadi  pupa  di dalam  kokon  selama  2-3  hari  berikutnya.  Ngengat  atau  "kupu"  keluar  dari kokon  10  hari  setelah  hidup  sebagai  pupa.  Ngengat  akan  keluar  pagi  hari  dan kawin pada hari yang sama dan betina bertelur pada malam harinya atau pagi berikutnya. Dalam proses perkawinan akan melibatkan seekor betina dan 2 ekor jantan. Setelah bertelur ngengat menjadi lemah dan mati setelah 4-5 hari. Setiap  betina  menghasilkan  telur  sekitar  500-700  butir  dengan  bobot  telur  60 mg/100  butir.  Karena  ulat  sutera  berdarah  dingin,  maka  kecepatan pertumbuhannya  sangat  tergantung  kepada  kondisi  lingkungan  tempat  hidupnya,  sehingga  lamanya  periode  larva,  pupa  dan  ngengat  tersebut  tidak selalu sama. Berat kelenjar sutera 5% dari bobot tubuh ulat instar 5 awal dan meningkat terus menjadi 40-45% pada saat ulat matang dan siap mengokon.

 Berikut ini lama dari setiap instar:
·         Instar 1 : 2 hari 13 jam,dihitung saat telur menetas sampai istirahat 1.
·         Instar 2 : 2 hari 2 jam, dihitung setelah istirahat 20 jam pada instar 1
·         Instar 3 : 2 hari 14 jam, dihitung setelah istirahat 2(20 jam)
·         Instar 4 : 3 hari 16 jam, dihitung setelah istirahat ke 3 (24 jam)
·         Instar 5 : 8 hari 5 jam, dihitung setelah istirahat lamanya 1 hari 13 jam, pada tahap ini ditandai ulat tidak mau makan.
Adapun perbedaan dari ulat sutera jantan maupun betina yaitu dengan melihat bagian abdominal, yaitu pada larva betina terdapat sepasang bintik pada segmen ke-11 dan segmen ke-12 yang disebut kuncup imaginal ishiwata. Sedangkan pada jantan terdapat sebuah bintik pada segmen ke-11 dan segmen ke-12 yang disebut kelenjar herold.

      2.  Pemberian Pakan
Daun  murbei  mempunyai  pengaruh  yang  sangat  besar  tidak  hanya  terhadap nutrisi  ulat  tetapi  prosentase  benang  dan  kualitas  kokon. kelenjar sutera  di  dalam  tubuh  berkembang  sehingga  harus  diberi  daun  murbei  yang cukup  banyak.  Frekuensi  pemberian  pakan  tergantung  kepada  tenaga  kerja yang  tersedia.  biasanya  3-4  kali  sehari.  Jumlah  kebutuhan   pakan  pada  stadia ini hampir 90% dari jumlah kebutuhan pakan seluruh instar. Jumlah daun yang diberikan pada sore hari harus 2x dari jumlah yang diberikan pada siang hari Dibandingkan  dengan  ulat  kecil.  pada  stadia  ulat  besar  ini  ketuaan  daun  yang dipergunakan  lebih  bervariasi.  Biasanya  bila  cabang  tersebut  sehat,  semua daun  kecuali  daun  yang  hampir  jatuh  dapat  dipergunakan.  Pengambilan  daun sebaiknya pada pagi atau sore hari, seperti pada stadia ulat kecil. Selama masa antara  pengambilan  daun  dan  pemberian  pakan,  batang  sebaiknya  diletakkan berdiri  bersandar  pada  dinding  dan  dibasahi  dengan  disemprot  air  atau dibungkus  dengan  kain  basah. 
Ketika ulat mendekati ganti kulit.  ulat akan mengurangi makan dan tubuh akan mengkilat. Agar ulat dapat ganti kulit di tempat yang bersih, maka pembersihan tempat  perlu  dilakukan.  Bila  90%  dari  ulat  sedang  ganti  kulit.  kapur  perlu ditaburkan  sehingga  tempat  pemeliharaan  ulat  kering  dan  ulat  yang  selesai ganti kulit terlebih dahulu tidak makan. Bila sudah 100% ulat selesai ganti kulit dan  warna  kepala  berubah  menjadi  coklat  tua  maka  ulat  siap  untuk  diberi makan. Lamanya masa makan tergantung dari temperatur.  perbedaan dapat mencapai 1-2 hari antara temperatur 18°C dan 26°C. Pemisahan antara yang lambat dan cepat  pertumbuhannya  dilakukan  pada  saat  ganti  kulit  ke  4  atau  pada pemberian  pakan  pertama  instar  5.   Bila  50%  ulat  sudah  bangun  dipisahkan menjadi yang dahulu dan sisanya diberi makan lebih lambat. Perbedaan antara kedua  ini  akan  meningkat  bila  yang  lebih  dulu  mendapatkan  kondisi  yang hangat. Sebaiknya ulat yang lambat diletakkan pada daerah yang mendapatkan akses  temperatur  lebih  tinggi  dalam  ruang  pemeliharaan  sehingga pertumbuhan akan lebih cepat dan ulat akan matang pada waktu yang  hampir bersamaan dengan yang cepat. Pada  penggunaan  rak  ulat.
Makanan  pertama pada  instar  pertama  (hakitate)  terlebih  dahulu dilakukan  desinfeksi  tubuh  ulat  dengan  bubuk kaporit  5%  dicampur  95%  kapur  yang  ditaburkan sebanyak satu gram per 0,1 m2 untuk ulat instar I, ulat  instar  II  sebanyak  2  gram  dan  ulat  instar  III sebanyak  3  gram.  Desinfeksi  tubuh  ulat  instar  IV dan  V  dilakukan  dengan  menggunakan  bubuk kaporit  10%  dicampur  90%  kapur.  Banyaknya campuran  yang  ditaburkan  adalah  50  sampai  60 gram  setiap  m2.  Desinfeksi  dilakukan  setelah setiap  kali  ulat  berganti  kulit  dan  sebelum pemberian makan.

     3.     Faktor yang mempengaruhi reproduksi
      a.     Makanan
Kandungan nutrisi rendah.  kandungan air rendah bisa berasal dari musim atau transportasi  atau  fasilitas  tempat  penyimpanan  daun  yang  kurang  baik.  Daun jangan disimpan atau dibasahi selama musim kering atau hari panas. Juga daun harus bebas hama dan penyakit dan kekerasan daun harus disesuaikan dengan instar  ulat.  Ulat  kecil  perlu  makanan  yang  lunak  dan  kandungan  nutrisi  yang tinggi. Kekurangan  jumlah  daun  setiap  kali  waktu  makan.  Di  daerah  panas  yang bersuhu di atas 30°C ulat tidak bisa makan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu pemberian makan harus dikonsentrasikan pada waktu sore dan malam hari. Perbandingan jumlah pakan pada pagi hari dan sore hari serta hasil panennya.Tempat kurang luas sehingga pemberian pakan kurang efisien Temperatur tinggi membuat ulat tumbuh lebih cepat sehingga umur berkurang 2-3  hari  dan  daun  tidak  mencukupi.  Perlu  memberikan  jumlah  pakan  yang banyak dalam jangka waktu yang pendek Di daerah panas ulat dapat mudah tidur walaupun kekurangan pakan. Ulat akan tumbuh tidak seragam dan tidak kuat. Sebaiknya mendekati waktu tidur pakan  dikurangi  tetapi  jumlah  pemberiannya  ditambah  menjadi  2  kali.  Pada  suhu  diatas  30°C  ulat  bangun  kemudian  tidak  cepat  diberi  pakan  ulat  mudah  menjadi lemah.
    b.     Kondisi iklim
Bila temperatur terlalu tinggi dan kondisi kering di dalam ruang ulat.  menanam pohon  di  sebelah  barat  rumah  ulat  atau  memasang  penaung  matahari.  Air  dapat  disemprotkan  ke  atap  rumah  atau  dinding  dan  lantai  pada siang hari. Jendela ventilasi dapat dibuat di atap rumah dan pemasangan kipas angin di dinding juga sangat membantu.
    c. Ruang Pemeliharaan Ulat
Faktor  yang  pertama  untuk  menstabilkan  hasil  adalah  bagaimana mempertahankan  ulat  bebas  hama  dan  penyakit.  Yang  kedua  bagaimana memelihara  ulat  supaya  kuat.  Untuk  itu  ruang  pemeliharaan  harus  terhindar secara  penuh  dari  hama  dan  pengawasan  untuk  meminimalkan  perbanyakan penyakit. Perbanyakan penyakit dapat terawasi pada ruangan yang mempunyai aerasi  yang  baik.  temperatur  dan  kelembaban  tidak  terlalu  tinggi  dan  mudah dibersihkan. Dalam waktu yang sama ulat dapat tumbuh dengan sehat.
d. Temperatur dan Kelembaban
Pertumbuhan  ulat  akan  terlambat  bila  temperatur  dan  kelembaban  terlalu rendah.  Oleh  karena  itu.  penting  untuk  mempertahankan  temperatur  dan kelembaban  optimum  untuk  pertumbuhan  normal. Perbedaan  temperatur  akan  mempengaruhi  masa  makan  1  -  2  hari  dan temperatur  yang  rendah  pada  instar  4  akan  menghasilkan  kokon  yang  tidak baik  dan  produktivitas  rendah.  Untuk  mendapatkan  temperatur  dan kelembaban optimum. beberapa cara di bawah ini perlu diikuti.

    4.    Inkubasi Telur/Bibit Ulat Sutra
            Bibit ulat sutera yang akan dibudidayakan diperoleh dari produsen bibit ulat sutera dalam bentuk telur. Telur ulat sutera yang berukuran sangat kecil, yaitu lebar sekitar 1 mm, panjang 1,3 mm, tebal 0,5 mm dan berat sekitar 0,5 mg menjadikannya sangat rentan sehingga perlu penanganan yang tepat dalam proses penetasan.

Proses penetasan ulat sutera dilakukan dengan melakukan inkubasi pada telur. Inkubasi telur adalah masa perkembangan telur sebelum menetas. Pada proses inkubasi lingkungan dikondisikan sedemikian rupa untuk merangsang penetasan telur ulat sutera. Agar diperoleh presentase penetasan yang tinggi dan penetasan yang serempak, maka temperatur dan kelembapan ruangan inkubasi harus diatur agar mencapai kondisi yang ideal.
Sebelum melakukan proses inkubasi pada telur ulat sutera, terlebih dahulu perlu diketahui ciri-ciri telur yang dapat menetas. Ciri- ciri tersebut adalah :
·        Telur ulat sutera mengalami beberapa tahap perkembangan dan pertumbuhan embrio yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada telur selama masa inkubasinya. Telur yang mengalami perubahan warna memiliki kemungkinan besar untuk dapat menetas.
·         Telur yang baru dikeluarkan oleh induknya berwarna kuning muda pada saat pertama diletakan.
·        Setelah treatment (perlakuan), warna telur berangsur berubah menjadi kuning tua, kemudian berwarna coklat muda, coklat tua, hitam, abu-abu tua, abu-abu muda. Dua hari sebelum penetasan terdapat bintik biru pada bagian ujung telur yang lancip ( keadaan ini dinamakan “blue head” atau bintik biru )
·        Telur yang tidak mengalami pembuahan oleh sperma dari induk jantan warnannya tetap kuning muda dan tidak terjadi perubahan warna karena tidak ada pertumbuhan embrio.

  Telur ulat sutera yang memiliki kriteria seperti yang telah disebutkan dapat langsung diberi perlakuan inkubasi telur untuk ditetaskan. Namun, apabila lokasi pemeliharaan ulat sutera cukup jauh dari lokasi produsen bibit ulat sutera, sebaiknya pembudidaya memperhatikan tanggal pemesanan , lama pengiriman, dan waktu penetasan telur. Telur yang dibeli dari produsen telur ulat yang terpercaya telah diberi perlakuan khusus sehingga dapat diketahui kapan waktu penetasannya yang biasanya tercantum dalam boks telur. Hal tersebut sangat penting dalam mengantisipasi agar telur ulat tidak menetas pada saat pengiriman.
Adapun cara inkubasi telur ulat sutera adalah sebagai berikut :


  •        Selama inkubasi diperlukan temperatur ruangan 25oC dengan kelembapan 85 % dan pencahayaan 18 jam terang, 6 jam gelap. Untuk mengetahui kekuatan cahaya yang tepat dalam proses inkubasi yaitu diukur dengan kondisi manakala kita masih dapat membaca diruangan itu.
  •        Telur yang diterima dari produsen dikeluarkan dari boksnya kemudian dipindahkan ke kotak penetasan yang lebih besar degnan ukuran 30 x 40 cm. Kemudian kotak tersebut dipasangkan jaring penetasan. Jika volume telur yang akan ditetaskan cukup banyak, semua kotak penetasan diletakan pada rak inkubasi. Untuk mengatur pencahayaan, jika perlu disekeliling kotak penetasan dipasang tirai berwarna hitam.
  •         Untuk mempertahankan kelembapan dengan kadar 85%, kotak penetasan diletakan diatas kain basah.
  •        Dua hari sebelum menetas (H-2), keadaan ruangan harus gelap total. Tirai ditutup, lampu ruangan dipadamkan.
  •        Pada hari H tanggal menetas, agar penetasannya serempak, pagi-pagi sekali (pukul 05:00 ) , lampu ruangan dinyalakan dan tirai dibuka.
  •        Sekitar pukul 8 pagi ulat yang baru menetas dan sudah berada diatas jaring penetasan, diangkat dari kotak penetasan. Lalu, ulat dipindahkan ke sasak pemeliahraan ulat untuk dilakuakan pemberian makan yang pertama kali (haketate).   Apabila masih ada telur yang belum menetas, telur-telur tersebut dikembalikan pada rak inkubasi dan ditunggu sampai menetas esok harinya.

Catatan : Ruangan serta peralatan inkubasi sebelumnya telah dilakukan desinfeksi dengan mempergunakan larutan formalin atau larutan kaporit dengan konsentrasi 2-5%.